Viralisme dan Lemahnya Imajinasi Sosiologis Kita

Sociological-Imagination-1

Hari ini, masalah sosial kita nampaknya hanya masalah-masalah yang viral saja. Padahal, tidak semua yang viral layak disebut masalah sosial. Sebagai contoh, pernikahan dan perceraian seorang artis –yang notabene merupakan masalah individu– seringkali berubah menjadi masalah nasional. Sebaliknya, masalah yang seharusnya ada dalam skala nasional, seperti deforestasi, justru hanya menjadi perhatian segelintir orang.

Mengapa bisa demikian? Adakah yang salah dalam cara kita melihat problematika kehidupan sosial? Apakah keseimbangan hidup seorang artis lebih penting dari keseimbangan alam? Mengapa perubahan sosial harus menunggu momen viral? Apakah fenomena viral bergulir secara natural atau hasil sebuah konstruksi? Jika bergantung pada konstruksi, siapakah yang mengkonstruksi kesan viral? Apakah semua orang punya hak dan kapasitas yang sama dalam mengkonstruksi isu viral?

Semakin diperhatikan, rasanya semakin random pula algoritma masalah sosial kita. Sekadar “genting” nampaknya tidak cukup membuat kita merasa terpanggil membuat atau setidaknya mendukung suatu perubahan. Skor PISA masyarakat yang rendah, pendapatan yang jauh di bawah rata-rata, tingginya angka pengangguran, goyahnya ketahanan keluarga, rapuhnya kesehatan mental, dan deratan kasus perusakan juga pencemaran lingkungan hanya berseliweran sebagai data tanpa makna. Meski semua “masalah” itu genting, namun uniknya tetap terkesan “baik-baik saja”.

Deretan absurditas ini yang membuat saya semakin merasa yakin, bahwa dunia nomos betul-betul berbeda dengan dunia kosmos. Aturan kehidupan sosial memang berbeda dengan aturan kehidupan semesta. Seolah-olah alam manusia memang diametral dan berbanding terbalik dengan alam semesta. Meminjam istilah para filsuf muslim, sejak awal “yang ada” itu memang terbagi dua: realitas non-konstruktif dan realitas konstruktif. Jenis pertama “ada” meskipun kita “tiada”, sedangkan jenis kedua hanya “ada” jika kita “adakan”.

Yang jarang disadari, kehidupan kita sepertinya lebih banyak dipengaruhi oleh realitas jenis kedua. Sebab, dunia kita adalah dunia nomos. Penghuni dunia nomos adalah realitas-realitas konstruktif. Maka, being atau keberadaan dunia kita sangatlah bergantung pada adanya kreasi. Bukan kreasi Tuhan, kreasi kita sendiri! Dalam bahasa yang baru populer belakangan, dunia kita adalah dunia para content creator. Isi dan cangkang dalam kehidupan kita dibentuk oleh para pengendali subscribers dan viewers.

Kita tinggal di bawah atap artifisial. Kita menghirup udara maya. Kita berputar dalam lingkaran simulasi. Kita terpugar oleh tagar. Yang penting bagi kita, bahkan yang real buat kita, ditentukan oleh urutan hashtag. Pilihan kita pun disediakan. Kata Baudrillard, kita terjebak dalam hyper-reality, sehingga kita tidak lagi sadar bedanya dominasi dan hegemoni. Kita sibuk mengamati perselisihan ombak, padahal kita sedang terseret di kedalaman samudra.

Jika tipikal dunia kita memang sangat bergantung pada gandrungan; jika kita bahkan tidak benar-benar punya pilihan; jika kenyataan (reality) sama dengan penampakan (appearance); maka, satu-satunya pertahanan yang tidak boleh direnggut dari kita adalah khayalan. Satu-satunya wilayah paling bebas yang tersisa bagi kita adalah imajinasi. Sesaat kita kehilangan imajinasi, saat itu pula kita kehilangan kreasi. Ketika kita kehilangan kreasi, maka kita akan kehilangan produksi. Akhirnya, yang tersisa hanyalah konsumsi; yang tersisa hanyalah mengikuti.

Barangkali, nuansa absurditas dan pencarian makna ini pula yang mendorong pemikir seperti Wright Mills menulis “Sociological Imagination”. Jika boleh direkontekstualisasi, mungkin Mills hendak menekankan bahwa kita hanya bisa keluar dari matriks viralisme bila, dan hanya bila, kita memperbaiki imajinasi sosial kita. Perlu ada upaya kolektif untuk kembali ke original position; sebuah garis start dimana kita bisa menghayati “relasi filosofis” antara individu dengan masyarakat. Paradigma inilah yang akan menentukan “identitas sosial” hingga “problem sosial” kita.

Katanya, pertahanan terakhir adalah sesuatu yang dibangun paling pertama. Makin kokoh pertahanan di dalam, makin baik pula pertahanan di luar. Dengan kata lain, jika kita tersudut sampai garis akhir, mungkin sejak awal ada yang salah dengan garis pertama kita. Jika kita sampai harus mereposisi imajinasi kita, mungkin sejak awal kita memang tidak memposisikannya dengan baik. Jika selama ini wacana sosial kita terus terjebak dalam viralitas, mungkin begitulah kira-kira level imajinasi kolektif kita.

Itulah mengapa, buat saya, lagu Imagine lah yang lebih tepat didapuk oleh John Lennon sebagai speaking words of wisdom, bukan lagu Let it Be. (MHR).

×

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× How can I help you?