Salat Sebagai Penyangga Moral

ilustrasi salat

Sebagai seorang muslim tentu terminologi salat atau seruan salat sudah tidak lagi asing dalam pendengaran. Bagaimana tidak, Anda bisa bayangkan lima kali dalam sehari salat terus terdengar sebagai panggilan wajib.

Tidak heran, karena bagi orang muslim salat adalah ibadah wajib yang harus ditegakkan, karenanya salat terus didengungkan sebagai seruan mutlak karena kokoh tidaknya Islam bergantung pada pelaksanaan salat, artinya salat adalah ibadah kunci dari ibadah-ibadah yang lain, bahkan secara filosofis ibadah-ibadah yang lain juga bergantung salat.

Lihatlah dalam sebuah sabda Nabi Muhammad Saw. “Salat adalah tiang agama. Jika salat seseorang diterima Allah Swt, maka amal-amal ibadah lainnya pun diterima, dan jika salatnya tidak diterima, maka amal-amal lainnya pun tidak diterima pula.”

Melalui satu nukilan sabda di atas dapat dibayangkan betapa sentralnya ibadah salat. Oleh karena itu penulis kerap menyebut bahwa salat adalah causa primer atas segala perwujudan aksiologi yang baik, atau secara lebih kusus penulis menyebutnya sebagai penyangga moral. Artinya dalam refleksi keyakinan Islam, moralitas umat manusia (katakanlah dalam konteks ini adalah umat Islam) akan rapuh jika salat diabaikan.

Sekarang coba kita perhatikan lebih cermat. Kalimat kunci pada sabda di atas terletak pada kalimat pertama, yaitu ‘salat adalah tiang agama’. Artinya secara konsekuen bila salat ditinggalkan maka niscaya agama Islam akan runtuh, sebaliknya pun begitu.

Lalu timbul sebuah pertanyaan, mengapa hanya ibadah salat yang dijadikan sebagai tiang oleh agama, bagaimana dengan ibadah-ibadah yang lain?

Hal mendasar yang dapat kita raih sebagai jawaban logis ialah salat adalah ibadah primer, karena hanya salat yang dihaurskan dilaksanakan setiap hari, bahkan lima kali dalam sehari sebagaimana yang telah disampaikan di atas. Berbeda dengan ibadah-ibadah lain yang tertera dalam rukun Islam, seperti puasa, berhaji, dan sedekah. Ini adalah jawaban elementer dan sederhana.

Sekarang coba kita lihat dalam sudut pandang filosofis untuk menjawab pertanyaan di atas, dimana ujung dari jawaban itu akan mempertemukan kita pada sebuah kesimpulan bahwa salat dalam konsekuensinya yang lebih mendasar lebih terkait pada perilaku, bukan pada pahala dan surga. Dalam praktek salat terdapat dua hal yang bisa kita temukan, pertama seseorang yang hendak melaksanakan salat maka seseorang tersebut harus menyucikan diri (mandi/berwudu) terlebih dahulu, kedua seseorang harus menggunakan pakaiannya sendiri, tidak mengambil hak (kepunyaan) orang lain, dan yang ketiga harus melaksanakannya di atas tempat yang bersih.

Perhatian tersebut terletak pada sisi aksidental atau yang berkaitan pada sisi materi semata, namun meski demikian hal tersebut tetap memberi pelajaran yang dapat menembus ruang kesadaran lalu menjelma kedalam tindakan interaktif. Sebab dari situ seseorang dapat menjadi sadar bahwa sebagai seorang yang beriman penting untuk selalu menjaga kebersihan, memakai hak sendiri, tanpa mengganggu kepunyaan orang lain. Bila hal ini terhayati maka seseorang secara otomatis akan terarah pada nilai-niali yang baik dalam segala hal, kesempatan, dan waktu. Berkaitan dengan hal tersebut mengingatkan saya pada tulisan Murtadha Muthahhari yang mengatakan “ibadah sebagai sarana memperkuat iradah (kehendak).”

Sementara perhatian yang menyetuh pada aspek substansi (imanen) adalah penyucian dari sisi jiwa sebagaimana pernah disetir oleh Nurcholish Madjid, bahwa pelaksanaan salat adalah merupakan aktualisasi penghambaan terhadap Allah SWT, dalam rangka semata untuk mengaharap perkenan atau ridla-Nya. Dengan begitu seseorang harus suci (bersih) dalam jiwanya, sebab hanya bersih dari luar tidaklah cukup.

Sekarang coba perhatikan perlahan-lahan, dalam pelaksanaan ibadah (salat) mengandaikan sebuah keterhubungan antara mahluk dan Allah, yang terbangun melalui kata penghamabaan dan serta pengharapan tentang “perkenan dan atau ridla-Nya”. Artinya bila hal ini terhayati, maka secara konsekuen tak ada pilihan lain kecuali untuk mengunci kemungkinan perbuatan buruk yang dapat memotong keterhubungan tersebut, sebab dengan hanya jalan itulah pengharapan yang tumbuh di dalam penghambaan akan terealisasi.

Oleh karen itulah, sebagaimana yang telah disampaikan di atas bahwa salat adalah merupakan penyangga dari perbuatan moral, karena perbuatan sebaliknya tidak memiliki ruang ekspresi bila hal itu (salat) benar-benar terhayati. Perhatikan ayat berikut; “sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar” [QS AL-‘Ankabut: 45].

Namun berbeda jika mereka yang melaksanakan hanya sebatas memahami sebagai sebuah kewajiban yang mesti dilaksanakan, orang-orang seperti inilah adalah orang-orang yang lalai dan dianggap celaka oleh al-Qur’an, perhatikan ayat berikut: “Maka celakalah orang-orang yang salat, yaitu orang-orang yang lalai dalam salatnya,” [QS Al-Ma’un: 4-5].

Tentu dapat dipahami mengapa orang yang lalai dalam salatnya dianggap celaka, itu karena kemungkinan perbuatan buruk (kejahatan) akan lahir yang pada akhirya bukan hanya memotong relasi (hamba dan Tuhannya) tetapi juga menjauhkan dirinya dari cahaya kasih ilahi. Mengapa demikian? Karena orang yang lalai hanya sebatas melaksanakan perintah sehingga spirit salat tidak terinternalisasi kedalam dirinya, akibatnya terjadi patahan nilai dalam tidakan sosialnya. Oleh karena itu, betapa pentingnya pemahaman dan penghayatan dalam setiap pelaksanaan ibadah bahwa, “terdapat keterhubungan antara sang hamba yang menghamba dengan sang ilahi yang disembah.”

Ibadah salat sebagai penyangga moral akan lebih terlihat bila kita kembali melihat visi kelahiran Islam yang diemban oleh Rasulullah SAW, ditengah-tengah kejahilan dan keburukan moral yang terdapat pada bangsa Arab saat itu. Ingatlah sejarah dimana perempuan dianggap sebagai aib, bahkan dikubur hidup-hidup, dan ingat pula perbudakan dan perdagangan manusia layaknya binatang juga terjadi pada masa itu.

 

Ditulis oleh Rajib Al-Nujud – Intelektual Mawara

×

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× How can I help you?