Negara Tanpa Filsafat; Renungan Hari Filsafat Dunia

WhatsApp Image 2024-12-05 at 18.23.30

UNESCO menetapkan kamis ketiga bulan November sebagai Hari Filsafat Dunia. Entah bagaimana hari ini diperingati di belahan dunia lain. Akan tetapi, di Indonesia nampaknya kurang memiliki gaung. Entah Indonesianya yang tidak akrab dengan filsafat atau filsafatnya yang tidak cocok dengan kultur Indonesia.

Bagaimanapun, komunitas filsafat di Indonesia sebenarnya tidak sedikit. Bahkan, kampus-kampus dan jurusan-jurusan filsafat juga sudah ada. Sepertinya filsafat dan Indonesia masih berupaya mencari common ground dan muara bersama; masih menunggu momen klik-nya.

Relasi dingin seperti ini tentu perlu pada upaya pencairan. Agaknya inilah saat dimana relasi power-knowledge memainkan peran icebreaking-nya. Di antara berbagai domain pengetahuan, barangkali sudah saatnya kekuasaan melihat filsafat sebagai domain pengetahuan yang penting – kalau tidak ingin dikatakan terpenting – dalam menentukan kebijakan. Sebaliknya, filsafat pun sudah waktunya untuk memperluas problem-problemnya ke ranah sosial dan politik, sehingga tidak puas pada renungan-renungan metafisik.

Toh, meminjam istilah Hegel, “Philosophy is its own time apprehended in thought.” Jadi, tidak ada filsafat yang “itu-itu aja”. Apalagi, dari dulu filsuf muslim juga memandang filsafat sebagai shayrȗrah, sehingga filsafat seharusnya selalu tentang “menjadi” dan “menyesuaikan” tantangan zaman.

Situasi kaku ini selayaknya bisa menjadi momentum untuk merefleksikan imajinasi sosial dan politik kita. Selama ini, kita mungkin tidak bisa membayangkan bernegara tanpa sistem ekonomi. Terlebih lagi, kita sepertinya tidak bisa mengandaikan bernegara tanpa tatanan politik. Wajar, distribusi anggaran dan kekuasaan adalah template baku yang melangsungkan kehidupan sosial kita.

Kendati demikian, bisakah kita bernegara melebihi imajinasi harta dan tahta? Bisakah kita, misalnya, berkhayal tentang negara tanpa filsafat? Bisakah kita menerka kondisi kontrafaktual dimana negara diselenggarakan tanpa penghayatan filsafat? Apa jadinya negara bila mengalami defisit intelektualitas dan dialektika?

Sebagai contoh sederhana, jika negara kita definisikan sebagai pemerintahan (government), tidakkah elok bila kita memiliki kesempatan untuk merenungi cara memerintah yang sesuai? Mengapa negara memiliki hak untuk memberi perintah? Mengapa kita terima untuk diperintah? Apa maknanya melanggar perintah negara? Akhirnya, jika kita memelihara dialektika ini, ia akan terus bergulir sampai kembali pada pertanyaan dan keheranan awal: apa itu negara?

Gaya imajinasi seperti ini mungkin mulai hilang, atau bahkan tidak pernah kita rasakan sebagai kehilangan, dalam proses bernegara. Kita bernegara tanpa benar-benar tahu apa itu negara dan mengapa harus negara.

Boleh jadi, lesunya girah filsafat disebabkan oleh level abstraksi yang terlalu berusaha mendalam, sehingga terlalu memakan waktu. Apalagi dunia saat ini makin instan dan pragmatis. Hari ini, kita tiba-tiba seperti ada di sebuah lintasan lari dan dipaksa berkompetisi dengan Usain Bolt. Meminjam istilah para filsuf eksistensialis, kita ada dalam momen faktisitas yang akut. Kita tidak diberi pilihan untuk mengolah informasi, apalagi merenungi, kejadian super cepat di sekitar kita. Kita hanya diminta terus berlari dan berlari, bermain dan bermain, tanpa mengerti apa yang sedang kita mainkan.

Alhasil, filsafat hilang tanpa ada yang merasa kehilangan. Padahal, filsafat mungkin merupakan satu-satunya ruang kondusif untuk menonton semua permainan yang berlangsung dalam hidup kita, dari level yang paling individual sampai yang paling sosial. Laboratorium filsafat ini mesti diinisiasi. Bilik filsafat ini harus dikreasi. Mungkin dimulai dari peringatan-peringatan Hari Filsafat Dunia. Mungkin dimulai dengan renungan-renungan sederhana. Tidak apa-apa kecil, yang penting tetap bermakna.

Terakhir, saya jadi teringat kutipan dari seorang filsuf politik, Isaiah Berlin. Dalam salah satu bukunya, ia menukil:

“Lebih dari ratusan tahun lalu, seorang penyair dari Jerman, Heine, mengingatkan orang-orang Perancis agar tidak meremehkan kekuatan ide, karena konsep-konsep filosofis yang dipupuk dalam sunyinya ruang kerja seorang Profesor sungguh bisa menghancurkan sebuah peradaban.”

Selamat Hari Filsafat. (MHR).

×

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× How can I help you?