Kita semua sedang menjalani kehidupan, tapi uniknya ketika ditanya tentang “apa makna hidup”, maka sebagian orang akan mulai mengalami kesulitan untuk mengartikulasikannya, bahkan banyak pula yang merasa tidak tahu sama sekali apa arti hidup itu.
Ironis memang, tapi bukan sesuatu yang mengejutkan. Kita tentu ingat sebuah penggalan pepatah, “Semut di seberang lautan jelas kelihatan, gajah di pelupuk mata tiada kelihatan.” Ada begitu banyak hal di dekat kita, namun karena dekat justru kita abaikan, dan salah satu hal yang sangat dekat dengan kita adalah kehidupan.
Sekarang agar memudahkan kita mengartikulasikan “makna hidup” maka kita perlu memberi jarak, melakukan teropong jarak jauh (zoom out), menyaksikan kehidupan secara lebih utuh, atau dalam bahasa yang lebih sederhana, kita mengambil posisi sebagai penonton kehidupan.
Anda tahu mengapa seorang penonton sepakbola bisa ‘terkesan’ lebih memahami jalannya pertandingan dibanding pemain sepakbola itu sendiri? Karena penonton melihat secara keseluruhan, sementara pemain hanya terfokus pada perannya saja.
Namun sebelum kita berusaha menemukan artikulasi yang tepat bagi makna hidup, mari kita mulai menyodorkan sebuah pertanyaan fundamental pertama “apa pentingnya makna dalam hidup? Kita mungkin bisa menjawab pertanyaan itu dengan menyajikan narasi kontra “apa jadinya hidup tanpa makna?”
Coba bayangkan bila ternyata harta dan tahta yang kita kejar habis-habisan selama ini ternyata tidak memiliki makna apa-apa? Harta yang sudah kita genggam tak bisa memberi kepuasan, tahta yang kita duduki tak mendatangkan kejayaan. Menyedihkan bukan? Begitupula hidup tanpa makna. Socrates, sosok yang sering disebut sebagai bapaknya para filosof pernah mengatakan, “Hidup yang tak teruji, tidak pantas untuk dihidupi.” Persoalannya, apakah hidup tanpa makna dapat disebut sebagai hidup yang teruji?
Setelah menyadari pentingnya makna dalam hidup, kini saatnya kita kembali coba mengartikulasikan apa itu makna hidup. Tentu saja tidak serta merta menjadi mudah, namun kita bisa meminjam opsi seperti ini:
“Hidup adalah Puzzle”
Pertanyaannya, kapan hidup layak disebut puzzle? Ada dua fundamental yang mendasari alasan mengapa hidup itu pantas disebut puzzle;
Pertama ketika kita mengetahui gambaran utuh dari puzzle tersebut. Mustahil sesuatu disebut puzzle bila kita tidak mengetahui bentuk utuh dari puzzle tersebut.
Kedua hidup bisa disebut puzzle jika kita sudah memiliki semua fragmen-fragmen yang membentuk puzzle tersebut. Andai ada satu fragmen saja yang hilang maka mustahil sesuatu itu disebut puzzle.
Ditulis oleh Amar Faizal Haidar, Co-Founder MAWARA.