Analogi Suluk Syaikh Isyraq (2): Menyingkap Tabir Materi

Ilustrasi unggas dan kura-kura.

Beberapa kura-kura sedang bersantai di tepian pantai. Ketika mereka sedang menikmati suasana laut, pandangan mereka terpana pada seekor unggas indah yang sedang bermain air: sesekali ia menyelam dan sesekali terbang dari permukaan.

Salah satu dari kura-kura kemudian penasaran, “Unggas itu sebenarnya hewan air atau hewan udara, ya?”

Kura-kura yang lain pun segera menimpali, “Pertanyaan mudah! Kalau ia bukan hewan air, lantas mengapa ia ada di air, ya kan?”

Kura-kura ketiga kurang setuju dengan retorika kura-kura kedua. Ia pun menyanggah, “Justru kalau memang hewan air, ia tentu tidak akan bisa hidup tanpa air, bukankah ia kadang-kadang pergi dari air!?”

Perdebatan hampir panas sampai seekor kura-kura bijak melerai mereka. Ia mengingatkan bahwa persoalan ini hanya dapat selesai bila mereka bersabar dan memperhatikan karakteristik unggas itu dengan teliti.

Kaidahnya, apabila si unggas adalah hewan air, layaknya ikan, maka ia tidak akan pernah sanggup berpisah dan hidup tanpa air. Jika ia dapat hidup tanpa air, maka ia bukanlah hewan air, bahkan bukan pula hewan yang butuh pada air.

Benar saja, tak lama berselang, tiba-tiba muncul angin topan yang mengguncang permukaan air. Sang unggas langsung terbang dan bertengger di ketinggian. Akhirnya, semua kura-kura paham bahwa unggas itu sebenarnya memang bukan hewan air.

Kendati demikian, banyak dari mereka yang tidak mau menerima dalil si kura-kura bijak. Mereka pun menuntutnya untuk membawa bukti lain yang lebih kuat.

Di poin ini, tulis Syaikh Isyraq, si kura-kura bijak merapal ungkapan salah seorang ahli makrifat: Abu Thalib Makki.

Dalam kitab Qūt al-Qulūb, bab wajd dan khawf, Abu Thalib Makki mengisyaratkan bahwa ketika Rasulullah saw memperoleh wahyu, Allah swt akan menangguhkan asumsi akal serta keterbatasan ruang dan waktu dari beliau.

Di tempat lain, bab mahabbah, Al-Makki juga menyebutkan bahwa ketika gurunya sedang mengalami penyaksian (syuhūd), maka keterbatasan ruang pun tak lagi berarti baginya.

Karena itulah, lanjut Syaikh Isyraq, para ahli makrifat memandang asumsi-asumsi akal, hawa nafsu, keterikatan pada ruang dan waktu sebagai hijab bagi penyaksian. Senada dengan ini, Al-Hallaj pun penah berkata bahwa mata Rasulullah saw telah tertutup dari (keterbatasan) ruang dan waktu. Artinya, beliau bisa terbebas dari jeratan ruang dan waktu; layaknya angsa yang bisa meninggalkan air kapanpun ia mau.

Maka, masyhur lah di kalangan para ahli makrifat bahwa seorang arif adalah ia yang telah melampaui dua alam. Mereka sepakat bahwa selama hijab belum tersingkap, penyaksian pun tak akan bisa dicerap.

Mendengar penjelasan panjang kura-kura bijak ini, mayoritas kura-kura kelelahan sembari menjawab sinis, “Bagaimana diri yang selalu terikat dengan ruang bisa terpisah dari ruang dan waktu? Aneh!”

Kura-kura bijak hanya menjawab singkat, “Tidakkah semua penjelasan panjang tadi seharusnya cukup sebagai bukti??”

Nahas memang nasib kura-kura bijak, ia malah diperolok oleh hampir semua kawanan kura-kura. Mereka mengusirnya, melempar pasir ke wajahnya, lalu meninggalkannya dan mencari tempat lain untuk bersantai bersama.

Syarah singkat:

Salah satu poin fundamental dalam kisah dan analogi ini ialah suluk itu melazimkan kita memahami bahwa jiwa sesungguhnya bersifat non-materi. Menerima kenonmaterian jiwa sama dengan menerima bahwa ia memiliki potensi untuk menyaksikan hakikat-hakikat non-materi.

Salah satu bukti terkuat mengapa jiwa kita bukanlah materi ialah ketika materi hancur, jiwa kita tetap eksis. Bila ia memang merupakan materi, maka ia tentu hancur bersama hancurnya materi. Di samping itu, tidak sedikit pribadi-pribadi yang berhasil berlepas diri dari badan, seperti Rasulullah saw dan para wali. Maka, alam materi bukanlah alam hakiki bagi jiwa, sebagaimana air bukanlah habitat asli bagi sang unggas. Manusia adalah makhluk langit, sebagaimana unggas adalah makhluk udara.

Jangan sampai sesaat tenggelam di air membuat kita mengira diri sebagai air; jangan sampai sesaat tenggelam di dunia membuat kita mengira diri sebagai dunia.
Tenggelam dalam hape, misalnya, membuat kita merasa kehilangan diri saat kehilangan hape. Tenggelam dalam raga pun membuat kita merasa kehilangan diri saat meninggalkan raga.

Jiwa terkesan bergantung pada raga karena ia perlu proses untuk menyempurna dari level yang paling rendah hingga level yang paling tinggi. Ia perlu pada wasilah dan kendaraan untuk mencapai puncak kesempurnannya. Kendaraan itulah yang kita sebut sebagai raga. Jadi, raga adalah kesempurnaan jiwa, hanya saja bisa menjadi hijab bila kita anggap sebagai kesempurnaan akhir.

Ketika hijab berhasil tersingkap, maka hakikat gaib juga kan terlihat. Sebagaimana mata materi melihat hakikat materi, mata jiwa juga melihat hakikat non-materi. Perlu diperhatikan bahwa tenggelam dalam materi akan membuat ruh menjadi materialistik. Ruh yang materialistik tidak akan sanggup menggapai hakikat yang tinggi. Itulah falsafah neraka dan surga. Mereka yang tidak mencapai surga adalah mereka yang justru akan sesak dan hancur kalau ke surga, seperti janin yang belum siap dan dipaksa ke dunia lalu mati ketika sampai di dunia.

Para Nabi dan Wali adalah unggas-unggas yang sadar ke-udara-an jiwa mereka dan telah sampai di langit. Kura-kura bijak adalah para filsuf yang sadar ke-udara-an jiwa mereka dan berusaha meneladani unggas untuk terbang ke langit. Adapun Kura-kura awam yang tidak percaya bisa keluar dari cangkangnya, mereka adalah manusia bercangkang dunia yang hanya bisa memperolok kisah-kisah langit. Di level kura-kura manapun diri kita berada, yang jelas, saat kita mengagumi dan meneladani unggas-unggas, maka kita akan disisihkan dari persatuan kura-kura.

 

Ditulis oleh: Muhammad Hazir Rahim, Ketua Mawara

×

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× How can I help you?