Beberapa semut keluar dari sarang mereka yang gelap di kedalaman tanah. Sejak awal fajar, mereka bergerak dengan cepat untuk mengumpulkan makanan. Di tengah perjalanan, mereka melihat tetesan air jatuh dari bunga mawar dan mengenai gula batu yang mengeras seperti kristal.
Salah satu semut pun mulai bertanya, “Dari mana asalnya air?”
Ada yang menjawab, “Itu dari tanah.”
Sebagian lagi menyahut, “Tidak! Itu berasal dari laut.”
Mereka terus berdebat hingga salah satu semut yang paling bijak berkata, “Untuk apa kalian berdebat? Katakanlah kita memang tidak bisa menyaksikan dari mana air berasal, tapi bukankah kita bisa menyaksikan kemana ia kembali?”
Semut-semut mulai keheranan: apa hubungannya asal-muasal dengan tempat kembali?
Melihat mereka kebingungan, semut bijak langsung melanjutkan, “Segala sesuatu sungguh memiliki kemiripan dan kerinduan terhadap rumpunnya. Kemanapun sesuatu pergi, ia akan tertarik kembali ke asalnya; dan kemanapun ia kembali, di sana lah asal-muasalnya. Kira-kira, mengapa kerikil yang dilempar ke udara selalu kembali ke tanah? Bukankah itu karena kerikil memang berasal dari tanah? Demikianlah, segala sesuatu yang tertarik pada kegelapan berasal dari kegelapan dan segala sesusatu yang tertarik pada cahaya tentu berasal dari cahaya.”
Semua semut segera paham, bahwa cara terbaik memahami asal-muasal sesuatu ialah memperhatikan kemana arah geraknya. Akhirnya, mereka pun bersabar di tempat untuk mengamati kemanakah embun-embun yang mereka perdebatkan akan kembali.
Tak lama berselang, matahari mulai muncul dengan gagah. Perlahan sinar dan kehangatannya menyentuh segala sesuatu di permukaan: termasuk semua embun yang menyelimuti bunga-bunga! Sinar matahari dengan cepat melahap semua embun, hingga embun akhirnya menguap dan menjadi udara. Perdebatan pun selesai, karena ternyata air itu berasal dari udara…
Kisah ini selesai. Syaikh Isyraq mengakhiri analoginya dengan tiga penggalan ayat berikut:
“Cahaya di atas cahaya dimana Allah swt memberi petunjuk dengan cahaya-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki” (24:35)
“Sesungguhnya kepada Tuhanmu lah tempat kembali” (53:43)
“Kepada-Nya lah kalimat-kalimat yang suci itu naik dan amal yang saleh akan mengangkatnya” (35:10).
Syarah Singkat:
Terlepas dari berbagai poin yang mungkin ditarik dari setiap simbol di atas, prinsip mendasar yang ditekankan Syaikh Isyraq dalam suluk ialah meng-identik-kan diri dengan Allah swt. Artinya, untuk menempuh jalan suluk, kita harus terlebih dahulu keluar dari kegelapan guna menyadari kebercahayaan diri dan kemiripan diri dengan Allah swt. Jika kita masih identik dengan kegelapan, kita pun niscaya kembali pada kegelapan. Jika kita belum menyadari keidentikan dan kemiripan dengan-Nya, kita juga tidak akan bisa bergerak atau kembali kepada-Nya.
Selama ini, kita mungkin mengira tidak bisa keluar dari daya tarik yang dimiliki dunia, layaknya air yang selalu jatuh dan tertarik ke tempat yang rendah. Kita lupa, bahwa air ada kalanya akan berubah menjadi uap, lalu mengudara dan fana.
Prinsip ini sejalan dengan tiga ayat yang dikutip Syaikh Isyraq. Pertama, Allah swt memperkenalkan Diri-Nya sebagai Cahaya segala langit dan bumi. Kedua, Dia mendaklarasikan Diri-Nya sebagai tempat kembali. Ketiga, hanya jiwa yang disucikan amal saleh yang bisa kembali menjadi seperti-Nya.
Dari sini, untuk suluk ke Hadirat-Nya pun kita harus memperoleh cahaya di atas cahaya. Untuk memperoleh cahaya di atas cahaya, kita perlu pada jiwa yang suci (kalimah thayyibah) dan amal yang saleh. Sebab, Yang Tersuci dan Terbaik hanya bisa didekati dengan kesucian dan kebaikan.
Ditulis oleh Muhammad Hazir Rahim, Ketua Mawara.